Organisasi politik adalah organisasi atau kelompok yang bergerak atau berkepentingan atau terlibat dalam proses politik dan dalam ilmu kenegaraan, secara aktif berperan dalam menentukan nasib bangsa tersebut. Organisasi politik dapat mencakup berbagai jenis organisasi seperti kelompok advokasi yang melobi perubahan kepada politisi, lembaga think tank yang mengajukan alternatif kebijakan, partai politik yang mengajukan kandidat pada pemilihan umum, dan kelompok teroris yang menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan politiknya. Dalam pengertian yang lebih luas, suatu organisasi politik dapat pula dianggap sebagai suatu sistem politik jika memiliki sistem pemerintahan yang lengkap.
Organisasi politik merupakan bagian dari suatu kesatuan yang berkepentingan dalam pembentukan tatanan sosial pada suatu wilayah tertentu oleh pemerintahan yang sah. Organisasi ini juga dapat menciptakan suatu bentuk struktur untuk diikuti.
Dan ini beberapa kutipan organisasi politik pada era Soekarno:
Ketika Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) terbentuk pada 20 Februari 1968 berdasarkan Keppres No 70/1968,[16] Partai baru ini didukung oleh organisasi-organisasi Muhamamdiyah, Jami’atul Wshiliyah, Gabungan Serikat Buruh Islam Indonesia (GASBIINDO), Persatuan Islam (Persis), Nahdlatul Wathan, Mathla’ul Anwar, Serikat Nelayan Islam Indonesia (SNII), Kongres Buruh Islam Merdeka (KBIM), Persatuan Umat Islam (PUI), Al-Ittihadiyah, Persatuan Organisasi Buruh Islam se Indonesia (PORBISI), Persatuan Guru Agama Islam Republik Indonesia (PGAIRI), Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI), Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI), Al-Irsyad Al-Islamiyah dan Wanita Islam.
Parmusi ini diinginkan sebagai penjelmaan Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) yang dibubarkan Presiden Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1960, melalui Keppres No 200/1960. Ustadz Muhsin Kahar tertarik melibatkan diri menjadi pengurus partai ini di Kota Makassar. Harapan dibalik itu agar cita-cita Masyumi dapat diujudkan.
Selama aktif dalam partai sang Ustadz pengagum tokoh-tokoh Masyumi ini berharap agar tokoh-tokoh seperti M.Natsir, Syafruddin Prawiranegara, Mr.Mohammad Rum, Kasman Singodimejo dan lain-lain dapat duduk menjadi pengurus partai sebgaimana informasi yang tersebar dikalangan keluarga besar Bulan Bintang. Waktu terbentuk partai ini diketuai oleh Djarnawi Hadikusumo dan Drs. Lukman Harun sebagai Sekjennya.
Ketika tiba masa kongres I Parmusi yang diadakan pada 1 s/d 8 November 1968 di kota dingin Malang, Ustadz Muhsin Kahar juga ikut menjadi peserta. Keluarga besar Bulan Bintang yang hadir di kongres itu sangat optimis sampai memasang spanduk yang bertuliskan : Selamat Datang Keluarga Bulan Bintang di Kongres I Parmusi (Kongres ke-7 Masyumi). Dalam kongres yang berlangsung di kota dingin Malang itu memutuskan Mr. Mohammad Roem sebagai Presiden Partai. Namun rupanya tokoh-tokoh Masyumi masih dipandang momok oleh pemerintahan Suharto, sebagaimana halnya pemerintahan Soekarno. Maka keputusan kongres itupun dieleminir oleh Suharto atas desakan Ali Murtopo dkk yang anti Islam itu.
Sejak itu Ustadz Muhsin Kahar sangat kecewa melihat sikap pemerintah. Apalagi konon Joni (Jailani) Naro yang berada dalam jajaran ketua adalah orangnya pemerintah yang disusupkan. Padahal semestinya dengan berakhirnya rezim orde lama, berkahir pulalah campur tangan pemerintah yang terlalu jauh ke dalam tubuh sebuah organisasi.
Dia tidak lagi meneruskan kegiatannya dalam partai. Pikirnya, tidak mungkin cita-cita Masyumi untuk mengeksiskan Islam di gelanggang politik dan pemerintahan dapat terujud kalau bukan orang-orang yang mengerti persis cita-cita itu yang memperjuangkannya.
Diapun kembali menggeluti dunianya semula secara konsentrasi penuh yakni dunia da’wah. “Ini mungkin hikmahnya saya keluar dari partai agar dapat lebih konsentrasi menggeluti da’wah”. Katanya pada suatu waktu.
Kendatipun keterlibatannya dalam partai hanya singkat waktunya namun tidak sedikit pelajaran ilmu politik praktis yang diperoleh dari tokoh-tokoh yang lidahnya sudah lama mengenyam asam garamnya politik seperti Abdul Wahab Radjab Daeng Taba, putra kelahiran Limbung-Gowa, 27 Agustus 1928, mantan sekretaris Masyumi Sulawesi Selatan, mantan wakil dari Prof.
Kasman Singodimejo dalam Majlis Hikmah Muhammadiyah Pusat, mantan Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulselra dan mantan Ketua Partai Muslimin Indonesia Daerah Sulawesi Selatan. Tokoh yang digelar oleh Mayor Jenderal Solichin GP, Panglima Kodam XIV Hasanuddin waktu itu sebagai Napoleon Boneparte-nya Sulawesi Selatan karena perawakannya yang mirip tokoh Perancis kelahiran Italia itu dan kelihaiannya dalam hal strategi. Juga dari Ismail Napu, tokoh kelahiran Gorontalo, 12 April 1914, Ustadz M.Arsyad Pana yang juga mantan Masyumi dan termasuk dedengkot politik dalam Partai Muslimin Indonesia di Sulsel.
[16] Dikutip dari buku Adian Husaini tentang Habibie.
adalah organisasi atau kelompok yang bergerak atau berkepentingan atau terlibat dalam proses politik dan dalam ilmu kenegaraan, secara aktif berperan dalam menentukan nasib bangsa tersebut. Organisasi politik dapat mencakup berbagai jenis organisasi seperti kelompok advokasi yang melobi perubahan kepada politisi, lembaga think tank yang mengajukan alternatif kebijakan, partai politik yang mengajukan kandidat pada pemilihan umum, dan kelompok teroris yang menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan politiknya. Dalam pengertian yang lebih luas, suatu organisasi politik dapat pula dianggap sebagai suatu sistem politik jika memiliki sistem pemerintahan yang lengkap.Organisasi politik merupakan bagian dari suatu kesatuan yang berkepentingan dalam pembentukan tatanan sosial pada suatu wilayah tertentu oleh pemerintahan yang sah. Organisasi ini juga dapat menciptakan suatu bentuk struktur untuk diikuti.
Dan ini beberapa kutipan organisasi politik pada era Soekarno:
Ketika Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) terbentuk pada 20 Februari 1968 berdasarkan Keppres No 70/1968,[16] Partai baru ini didukung oleh organisasi-organisasi Muhamamdiyah, Jami’atul Wshiliyah, Gabungan Serikat Buruh Islam Indonesia (GASBIINDO), Persatuan Islam (Persis), Nahdlatul Wathan, Mathla’ul Anwar, Serikat Nelayan Islam Indonesia (SNII), Kongres Buruh Islam Merdeka (KBIM), Persatuan Umat Islam (PUI), Al-Ittihadiyah, Persatuan Organisasi Buruh Islam se Indonesia (PORBISI), Persatuan Guru Agama Islam Republik Indonesia (PGAIRI), Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI), Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI), Al-Irsyad Al-Islamiyah dan Wanita Islam.
Parmusi ini diinginkan sebagai penjelmaan Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) yang dibubarkan Presiden Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1960, melalui Keppres No 200/1960. Ustadz Muhsin Kahar tertarik melibatkan diri menjadi pengurus partai ini di Kota Makassar. Harapan dibalik itu agar cita-cita Masyumi dapat diujudkan.
Selama aktif dalam partai sang Ustadz pengagum tokoh-tokoh Masyumi ini berharap agar tokoh-tokoh seperti M.Natsir, Syafruddin Prawiranegara, Mr.Mohammad Rum, Kasman Singodimejo dan lain-lain dapat duduk menjadi pengurus partai sebgaimana informasi yang tersebar dikalangan keluarga besar Bulan Bintang. Waktu terbentuk partai ini diketuai oleh Djarnawi Hadikusumo dan Drs. Lukman Harun sebagai Sekjennya.
Ketika tiba masa kongres I Parmusi yang diadakan pada 1 s/d 8 November 1968 di kota dingin Malang, Ustadz Muhsin Kahar juga ikut menjadi peserta. Keluarga besar Bulan Bintang yang hadir di kongres itu sangat optimis sampai memasang spanduk yang bertuliskan : Selamat Datang Keluarga Bulan Bintang di Kongres I Parmusi (Kongres ke-7 Masyumi). Dalam kongres yang berlangsung di kota dingin Malang itu memutuskan Mr. Mohammad Roem sebagai Presiden Partai. Namun rupanya tokoh-tokoh Masyumi masih dipandang momok oleh pemerintahan Suharto, sebagaimana halnya pemerintahan Soekarno. Maka keputusan kongres itupun dieleminir oleh Suharto atas desakan Ali Murtopo dkk yang anti Islam itu.
Sejak itu Ustadz Muhsin Kahar sangat kecewa melihat sikap pemerintah. Apalagi konon Joni (Jailani) Naro yang berada dalam jajaran ketua adalah orangnya pemerintah yang disusupkan. Padahal semestinya dengan berakhirnya rezim orde lama, berkahir pulalah campur tangan pemerintah yang terlalu jauh ke dalam tubuh sebuah organisasi.
Dia tidak lagi meneruskan kegiatannya dalam partai. Pikirnya, tidak mungkin cita-cita Masyumi untuk mengeksiskan Islam di gelanggang politik dan pemerintahan dapat terujud kalau bukan orang-orang yang mengerti persis cita-cita itu yang memperjuangkannya.
Diapun kembali menggeluti dunianya semula secara konsentrasi penuh yakni dunia da’wah. “Ini mungkin hikmahnya saya keluar dari partai agar dapat lebih konsentrasi menggeluti da’wah”. Katanya pada suatu waktu.
Kendatipun keterlibatannya dalam partai hanya singkat waktunya namun tidak sedikit pelajaran ilmu politik praktis yang diperoleh dari tokoh-tokoh yang lidahnya sudah lama mengenyam asam garamnya politik seperti Abdul Wahab Radjab Daeng Taba, putra kelahiran Limbung-Gowa, 27 Agustus 1928, mantan sekretaris Masyumi Sulawesi Selatan, mantan wakil dari Prof.
Kasman Singodimejo dalam Majlis Hikmah Muhammadiyah Pusat, mantan Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulselra dan mantan Ketua Partai Muslimin Indonesia Daerah Sulawesi Selatan. Tokoh yang digelar oleh Mayor Jenderal Solichin GP, Panglima Kodam XIV Hasanuddin waktu itu sebagai Napoleon Boneparte-nya Sulawesi Selatan karena perawakannya yang mirip tokoh Perancis kelahiran Italia itu dan kelihaiannya dalam hal strategi. Juga dari Ismail Napu, tokoh kelahiran Gorontalo, 12 April 1914, Ustadz M.Arsyad Pana yang juga mantan Masyumi dan termasuk dedengkot politik dalam Partai Muslimin Indonesia di Sulsel.
[16] Dikutip dari buku Adian Husaini tentang Habibie.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar